Pahit, Namun Tidak Memilukan

06.00

Tulisan ini sepertinya akan sedikit berbeda dengan tulisan sebelumnya...


Sudah dua hari ini saya tidak bisa memejamkan mata, bahkan untuk mengambil waktu istirahat barang satu atau dua jam saja rasanya enggan. 

Semua ini bermula setelah saya kembali ke Yogyakarta dalam keadaan tidak rela meninggalkan rumah. Tempat saya berkuliah memberikan waktu libur -atau waktu di mana saya anggap sebagai waktu beristirahat dan melarikan diri dari perantauan- selama satu minggu penuh untuk menyambut Paskah. Karena itu, saya memutuskan untuk pulang dan bertekad untuk tidak melakukan apa-apa di rumah. Saya menyebutnya The art of doing nothing, ketika kita tidak melakukan apa-apa karena memang tidak ingin, menikmati waktu yang berjalan tanpa harus tergesa-gesa berkejaran dengan waktu.
Hari-hari di rumah saya habiskan dengan ibu saya yang kebetulan sedang dalam masa penyembuhan karena demam berdarah yang dialaminya beberapa hari lalu. Dan juga saya habiskan untuk merayakan rangkaian Paskah yang membuat saya selama empat hari berturut-turut mengunjungi rumah Tuhan. Sayangnya, saya belum bisa mendalami apa arti Paskah tahun ini karena jujur saya masih menganggap ini sebagai rutinitas tiap tahun. Entahlah. Namun saya selalu suka datang ke rumah Tuhan karena tempat itu membuat saya tenang. Bukan, tulisan ini bukan untuk membahas sesuatu yang holy karena toh saat saya menulis tulisan ini saya belum datang ke rumah Tuhan untuk beribadah hari ini. Maafkan saya Tuhan.
Kembali berbicara tentang rumah. Rumah memberikan saya kenyamanan dan ketenangan yang tidak saya temui di tempat rantau. Selalu saja ada perbincangan yang membuat saya hidup di rumah, ketika saya merasa saya benar-benar sedang ada di dunia dan tidak menjadi zombie yang berjalan linglung. Ibu, Bapak, Kakak, seekor anjing yang saya pelihara sejak dia berumur dua minggu, dan kenangan masa kecil di rumah selalu berhasil membuat saya menyesal mengapa saya memutuskan untuk merantau lima tahun yang lalu. Karena semakin saya berada di rumah, semakin saya sadar bahwa saya sudah tidak bisa merasakan rasa "menetap" di rumah karena kehidupan mengharuskan saya untuk selalu bergerak dan berpindah.
Dalam "pelarian" saya ke rumah, saya menemukan beberapa hal kasat mata yang akhirnya saya sadari keberadaannya. Saya merasakan rasa sayang keluarga saya bergitu besar terhadap saya, mereka tidak segan mengeluarkan uang lebih dan menuruti apa yang saya inginkan saat saya berada di rumah. Walaupun sebenarnya tanpa begitu, saya sudah amat sangat menyayangi mereka. Berada di antara orang tua selalu membuat saya bersyukur, kedua orang tua saya bukan tipe orang tua yang mengekang anaknya, justru saya selalu terbuka dan menceritakan semua yang saya rasakan kepada mereka. Dan mereka mendukung saya selama itu baik buat saya. Ah saya jadi rindu "rumah".
Ada hal lain di luar konteks rumah yang saya temukan seminggu lalu -yang sebenarnya jadi topik inti pembahasan dalam tulisan saya malam ini-. Kecintaan ibu saya dengan cafein ternyata sudah mulai menginvasi diri saya. Ibu saya merupakan orang yang tidak bisa terlepas dari kopi barang sehari. Beliau dapat mengahbiskan minimal dua cangkir kopi dalam sehari. Saat saya pulang, ibu saya membuatkan kopi seperti biasanya. Namun ada rasa lain yang saya temukan di kopi tersebut. Saya pikir, itu kopi biasa yang beliau buat setiap harinya. Ketika saya bertanya mengapa kopi tersebut berbeda, dia menjelaskan bahwa dia baru saja mendapat kiriman kopi dari kawannya di Lampung. Sejak hari itu, saya jatuh cinta dengan kopi Lampung yang sederhana itu. Tiga cangkir kopi saya habiskan setiap harinya selama di rumah. Karena entah mengapa, kopi pahit dengan sedikit gula itu berhasil membuat saya lebih hidup.

Hingga hari ini, saya selalu menghabiskan sedikitnya dua atau tiga cangkir kopi.
Kopi juga yang membantu saya tidak memejamkan mata selama dua hari dan bertahan mengerjakan makalah bahan presentasi dadakan dari dosen hingga pukul 5 pagi di kedai kopi dekat rumah di Yogyakarta.
Kopi juga yang membawa saya dan sahabat saya mengobrol hingga pagi semalam di warung sederhana yang memiliki racikan kopi tubruk kesukaan saya.
Entah kenapa, kopi membuat saya menemukan ide-ide baru dan pengalaman-pengalaman baru.
Pertemuan tidak sengaja dengan teman bercerita saya semalam tidak mungkin terjadi jika saya tidak merasa semalam saya kekurangan cafein yang menghidupi saya.
Entahlah, saya juga tidak tahu semalam takdir atau apa.
Saya sudah lelah bertanya mengapa, dan sepertinya saya memang harus bisa berhenti menanyakan alasan dan menikmati kejutan di setiap detik kehidupan.
Sebuah kebetulan seringkali membuat kita mengkait-kaitkan peristiwa dengan takdir.
Padahal, saya meyakini bahwa dunia ini memiliki sebuah hubungan kasat mata yang menyatukan satu dengan yang lainnya.
Yang membuat yang satu dan yang lainnya saling berkaitan namun tanpa pernah kita sadari.

Saya merasa tulisan ini semakin tidak jelas...



Intinya,
saya menemukan sebuah kehidupan dalam secangkir kopi. Atau lebih tepatnya efek dari cafein dan kenikmatan kopi itu sendiri. 
Dan selalu ada cerita dibalik orang-orang penggila kopi, 
yang membuat dia tetap bisa terbangun dan berpikir di kala orang lain terlelap di jam-jam tidur
yang membuat dia lebih bisa memaknai hidup karena terbiasa menyesap paitnya cairan hitam tersebut
yang membuat dia bisa menikmati kepaitan kehidupan dan merasakan kenikmatan lain dibalik kepaitan tersebut
Dan kopi, membuat saya menemukan dia.

Yogyakarta, 3 April 2016.
Regards,

                             - S -



You Might Also Like

0 komentar

Subscribe